Monday 29 April 2013

ENTREPRENEURSHIP

ENTREPRENEURSHIP/KEWIRASWASTAAN/KEWIRAUSAHAAN




Rabu, 15/12/2004

Social Entrepreneur
Oleh: Rhenald Kasali
Every change begins with a vision and a decision to take action”. Demikian kata David Bornstein. Cara pandang itu tentu bukan hanya ada di kepala para usahawan, melainkan juga para relawan yang berjuang dengan penuh dedikasi. Munir, Romo Mangun, Anton Sudibyo (Yayasan Dian Desa), Bambang Ismawan (Ketua Yayasan Bina Swadaya), sampai Bunda Theresa, Bill Drayton (pendiri Ashoka: Innovator for the Public, di 46 negara), Jeroo Billimonia (pendiri jaringan pelindung anak-anak yang sedang menderita di India, Childline) dan Muhammad Yunus (pendiri Grameen Bank di Bangladesh yang memberikan pinjaman tanpa jaminan kepada rakyat miskin sebagai modal usaha). Mereka semua layak disebut Social Entrepreneur.

Dalam literatur tentang social change, kendati mereka melakukan perubahan yang sangat mendasar bagi masyarakat, mereka tidak pernah dianggap sejajar dengan Bill Gates atau Henry Ford yang mendatangkan banyak lapangan kerja. Masalahnya, teori-teori perubahan sosial lebih berkonsentrasi pada bagaimana ”ideas move people” daripada bagaimana ”people move ideas”. Jadi bagi mereka, ide adalah segala-galanya. Padahal dunia ini baru akan berubah kalau ada orang yang bergerak, menggerakkan dan memelihara gerakan itu. Itulah yang dilakukan oleh Social Entrepreneur.

Dalam dunia yang sudah penuh sesak, yang diwarnai nilai-nilai kejahatan dan kebencian, ide-ide kemanusiaan biasanya hanya bersembunyi di balik hati sanubari kebanyakan orang. Ketika ide-ide itu dimunculkan oleh satu-dua orang ke atas permukaan, maka ia mengalami jutaan ujian. Ia akan menjadi seperti sebuah usaha yang membutuhkan produser yang hebat dan promotor yang punya keberanian. Sekalipun karya itu sebuah masterpiece, ia tetap akan menghadapi persaingan, yaitu persaingan untuk memperoleh perhatian dan legitimasi. Dengan demikian ada banyak profesional dalam kegiatan sosial, tapi cuma sedikit yang benar-benar berhasil melakukan perubahan. Sebagian besar relawan umumnya kandas di tengah jalan, bubar begitu bantuan asing terputus. Sikap dan cara mereka bekerja, sama dengan birokrat yang gagal melakukan pembangunan.

Saya kira inilah jawabannya mengapa rata-rata birokrat gagal melakukan dan menerapkan social marketing. Untuk menggerakkan social marketing, pertama-tama mereka harus menjadi Social Entrepreneur dengan kepekaan terhadap kemanusiaan. Seperti kata Entrepreneur Thomas Edison, ”If we all did things we are capable of doing, we would literaly astound ourselves.”. Dengan kepekaan terhadap kemanusiaan, kapabilitas pelayanan akan tumbuh dan dari situ mereka akan mengenal apa-apa yang harus dan bisa dilakukan untuk memasarkan ide-ide menjadi sebuah produk sosial yang bermanfaat.

Untuk menjadi Social Entrepreneur setidaknya dibutuhkan enam sikap dasar. Pertama, kesediaan untuk berkorban dan segera bertindak. Pengorbanan bukan cuma harta benda, melainkan juga naluri untuk bersenang-senang, waktu, tenaga dan pikiran. Kedua, kesediaan untuk memulai bekerja dengan diam-diam. Social Entrepreneur memulai karyanya dari hal-hal kecil di daerah yang tidak dikenal. Butet bekerja di pedalaman Sumatera dengan anak-anak suku Kubu. Yayasan Dian Desa berkubang lumpur di desa-desa. Muhammad Yunus bekerja dengan buruh-buruh kasar dan tukang becak di Bangladesh. Biasanya mereka baru dikenal setelah karya-karyanya menjadi kenyataan dan ramai dibicarakan orang.

Ketiga, seperti layaknya seorang wirausaha bisnis, ia harus rela melakukan hal ini; Bekerja dengan energi penuh. Orang yang berenergi penuh ’tak ada matinya’. Ia melakukan banyak hal sekaligus dengan menembus berbagai dinding-dinding penyekat. Ia tak mengenal batas-batas yang dibuat manusia untuk membatasi ruang geraknya. Singkatnya ia bergerak menembus batas-batas disiplin antar bidang.

Keempat, ia menghancurkan ”the established structures”. Ia benar-benar bekerja independent dan tak mau terbelenggu oleh struktur yang seakan-akan mewakili kebenaran. Mereka bisa saja ditemukan di antara pegawai-pegawai pemerintahan atau dosen di universitas, tetapi yang membedakan mereka dengan teman-temannya adalah kebebasannya dalam bertindak dan berpikir. Mereka punya kecerdasan yang luar biasa dalam mengambil jarak untuk melihat ”beyond the orthodoxy” dalam bidang/pekerjaan mereka. Untuk melakukan hal ini, mereka mengambil resiko yang terlihat aneh, bahkan adakalanya dimusuhi oleh kalangan ”the establishment”.

Kelima, kesediaan melakukan koreksi diri. Kewirausahaan sosial sama seperti kewirausahaan bisnis, memerlukan kejernihan berpikir dan sikap-sikap positif. Artinya, kalau suatu langkah tidak bekerja dengan baik, mereka harus rela mengkoreksinya. Pada tahun 1990-an orang-orang sudah meyakini karya besar Muhammad Yunus yang sukses dengan Grameen Bank-nya untuk melayani segmen mikro, tetapi ia melihat tetap ada kelemahan-kelemahan yang merepotkan debitur untuk melunasi hutangnya. Pada tahun 2002, Yunus meluncurkan Grameen Bank II untuk melayani nasabah-nasabah mikro-nya dengan lebih baik lagi.

Yang terakhir adalah kesediaan berbagi keberhasilan. Mereka adalah orang-orang yang rendah hati, yang bekerja dengan prinsip, ”sukses ini bukan karena semata-mata karya Saya.”
Di tangan Social Entrepreneurs, dunia ini menjadi lebih bercahaya. Mereka merubah dunia dengan kasih sayang dan penuh semangat. Ada tangis, tapi juga ada tawa. Tapi lebih dari sekedar berkarya, mereka membangun sebuah kekuatan, yaitu kekuatan perubahan yang berkelanjutan. Andapun bisa melakukannya.

  • Langkah tindakannya selalu berpedoman kepada suatu “tujuan” yang telah ditetapka
  • Langkahnya berdasar kepada destination yang jelas, dan selalu mempertanggungjawabkan setiap tindakan yang diambil.
  •  SILAHKAN DOWNLOAD LINK BERIKUT : ENTREPRENEURSHIP POWERPOINT 

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More